Oleh: Gede Prama
Tidak sedikit remaja yang sangat membenci orang tuanya
yang pemarah. Banyak bawahan yang sangat menolak atasan
yang pemarah. Padahal, bila dibekali cukup kejernihan
kemarahan bisa menjadi pembimbing perjalanan.
Lentera Kemarahan
Nyaris di semua zaman manusia pemarah itu amat dibenci.
Bila boleh menjauh, semua mau menjauh dari orang pemarah.
Tapi nyatanya, orang marah datang lagi dan lagi. Bila
tidak bisa dihindari, pasti ada pesan yang disembunyikan
di balik orang-orang pemarah.
Belajar dari banyak sekali manusia pemarah, sejujurnya
manusia pemarah itu jiwanya luka. Ketidaktahuan membuat
mereka mau menyembuhkan lukanya dengan menyerang orang
lain. Akibatnya, mereka tidak mendapat obat dari orang
lain, sebaliknya malah mendapatkan luka baru. Bila
didalami lagi, kemarahan seseorang hanya cermin bahwa yang
bersangkutan memiliki kemarahan pada dirinya sendiri.
Entah dilukai orang tua, dilecehkan orang lain, pendeknya
masa lalu yang sangat ditolak. Dan semakin ia ditolak,
semakin keras lagi kemarahan di dalam melawan.
Belajar dari sini, layak direnungkan untuk menggunakan
kemarahan sebagai cahaya pembimbing. Kemarahan dalam
pendekatan ini adalah lentera penunjuk arah perjalanan. Ia
menunjukkan bagian-bagian ruang di dalam yang memerlukan
cahaya penerang. Tapi ini mungkin terjadi, bila kemarahan
diterima, didekap, dilihat arah yang ditunjukkan.
Merubah Cara Memandang
Berbekalkan kemarahan sebagai lentera, kemudian
lorong-lorong gelap di dalam seperti ketakutan, keraguan,
kecurigaan pelan-pelan diterangi. Seorang sahabat yang
pemarah besar pernah menjadi Guru, ia sangat membenci
salah satu kejadian di masa lalu. Andaikan kejadian itu
tidak terjadi, mungkin hidupnya akan lebih baik. Ini ciri
khas manusia pemarah, berhandai-handai bisa merubah masa
lalu.
Padahal semua tahu, masa lalu tidak bisa dirubah. Yang
bisa dirubah adalah cara memandangnya. Begitu cara
memandangnya dirubah, hidup pun berubah. Seorang sahabat
di jalan meditasi pernah bercerita bahwa jiwanya luka
mendalam karena ayahandanya dibunuh di tahun 1965. Ini
mengakibatkan ia harus menanggung Ibu dan saudara-saudara
seumur hidup. Tapi tatkala cara memandangnya dirubah,
bukan musibah ayah yang dibunuh, melainkan cara kehidupan
untuk membuat yang bersangkutan jadi matang dan dewasa,
maka hidupnya pun berubah.
Bila boleh jujur, bahkan nabi pun harus dibuat matang dan
dewasa melalui rasa sakit yang mendalam, apa lagi manusia
biasa. Itu sebabnya, jendral Mc. Arthur berdoa untuk
anak-anak secara berbeda: “Tuhan, beri anak-anak masalah
dan musibah, karena itu satu-satunya cara yang membuat
jiwa mereka jadi dewasa”. Jika ini cara memandangnya, maka
seseorang bisa berterimakasih pada kemarahan.
Jendela Kasih Sayang
Berbekalkan cahaya pemahaman seperti ini, kemarahan tidak
lagi berwajah gelap, ia adalah lentera penerang
perjalanan. Awalnya adalah jiwa yang luka mendalam. Luka
ini kemudian membuat seseorang mencari obat dengan cara
memarahi orang lain. Tapi pencari obat ini bukan
mendapatkan obat, malah mendapatkan luka baru.
Dengan teropong seperti ini, kemarahan orang-orang
pemarah adalah energi yang bisa membuka jendela kasih
sayang. Inilah ciri manusia yang sudah sembuh dari
kemarahan. Sementara orang kebanyakan hanya melihat
kegelapan di balik kemarahan, orang yang sembuh melihat
lentera di sana.
Di jalan meditasi, pendekatan ini disebut “mengolah racun
menjadi sang jalan”. Ia serupa dengan burung cendrawasih
yang mengolah racun jadi makanan, oleh meditasi racun
kemarahan diracik dengan langkah “terima, mengalir,
senyum”, kemudian kemarahan berubah menjadi cahaya terang
sang jalan.
No comments:
Post a Comment