KOMPAS.com - Awal tahun ini
saya mengunjungi dua orang sahabat lama saya. Yang satunya, Jodi,
pengepul manggis di Cibadak-Sukabumi dan satunya lagi, Hamid, tukang
kayu di Banten. Keduanya memilih hidup jauh dari keramaian: di
tengah-tengah kampung di kaki gunung yang sepi, memulai kembali
kehidupan dari bawah.
Tetapi jangan salah, 20 tahun lalu keduanya dikenal sebagai yuppie (young-urban professional atau young upwardly-mobile professional). Muda, berdasi, bersedan mewah, dan mudah mendapatkan kedudukan. Kata yuppie
sendiri saat itu begitu lekat dengan lulusan universitas terkemuka atau
MBA yang bergaji mahal karena bergerak di sektor keuangan.
Krisis
moneter 1998 menghancurkan ekonomi keluarga mereka. Ijazah sarjana
dari perguruan tinggi (satunya lulusan MBA dari Dallas Texas, satunya
lagi sarjana ekonomi UI), tak menjamin kemudahan apa-apa.
Saya
khawatir banyak kaum muda berusia 30-40an yang tengah menghadapi
perubahan dewasa ini tak menyadari hidupnya pun sesungguhnya sama-sama fragile.
Bedanya dengan yang lain, keduanya memilih keluar dari zona nyaman
mencari “kesaktian” dan mukjizat dari zona-zona tidak nyaman.
Saya
mulai dulu dengan si pengepul manggis. Minggu depan kita obroli si
tukang kayu. Ini sekalian penjelasan bagi mas-mas, oom-oom dan adik-adik
yang tak mau naik angkot karena sudah biasa naik mobil Audi. Ya, kalau
mau naik Audi terus monggo saja, meski suatu ketika uangnya untuk
merawat Audi sudah tidak ada lagi dan otot sudah kadung tua. Hehe.
Kalah judi
Hidup
ini ibarat berjudi. Kalau sudah kecanduan, manusia sulit keluar dari
perangkap itu. Otak Anda akan memerintahkan kaki, tangan dan hati
melakukan hal yang sama berulang-ulang karena sudah familiar.
Itulah
zona nyaman. Kita hanya ingin melakukan hal-hal yang sudah menjadi
kompetensi kita, kendati kini telah dimiliki banyak orang dimana-mana.
Membuat kita kehilangan daya jual, substitutable (mudah diigantikan),
lalu menjadi obsolete (usang), ketinggalan zaman karena umur.
Realistis
saja, kelak kalangan terpelajar, akan menjadi tenaga yang kemahalan
bagi industri. Hanya sebagian kecil dari para senior yang didapuk
menjadi direksi. Selebihnya bisa dianggap menjadi "beban" (liability)
ketimbang "aset". Apalagi kalau terperangkap dalam zona nyaman penuh
keluhan dan kegalauan. Nah sebelum merasa disia-siakan, kita tentu perlu
keluar dari zona itu, masuk ke zona belajar.
Kita menjadi buta
kala kita diberi banyak kemudahan dan kenikmatan. Seperti yang dialami
Jodi. Ketika banknya bangkrut, ia banting setir menjadi agen asuransi.
Karena hebat jualan, setiap 3 bulan dia bisa membeli mobil mewah baru.
Kawan-kawannya
sering dibuat heran. Betapa mudahnya kehidupan yang ia jalani. Semua
berpikir ia akan bisa menikmati hari tua dengan tabungan besar dan
pensiun di usia muda. Tetapi kenyataan berubah di tahun 1998, aliran
uang masuk terhenti: pekerjaannya pun lenyap. Tetapi hobinya untuk
menikmati hiburan malam tak pernah lenyap.
Persis seperti ratusan
eksekutif ibukota yang saat itu terkena PHK. Meski nilai pesangonnya
besar-besar, mereka tetap memakai dasi di pagi hari dan meminta sopirnya
membawa dirinya ke "kantor" (yang bukan tempat kerjanya), mengunjungi
teman, menghibur diri dari satu kafe ke kafe lainnya.
Didorong
rasa kasihan, saya pernah memberikan orang-orang ini pekerjaan, tetapi
banyak yang tidak tahan bertarung melawan kesulitan pada tahap
entrepreneurial, dengan pegawai yang belum berpengalaman, apalagi
gajinya tak besar.
Jodi menjalani zona nyaman itu dengan penuh kepura-puraan (bahwa everything’s gonna be OKAY)
selama 5 tahun sampai semua teman-temannya sudah tak mau membantu
lagi. Dia madsh ingat nasehat saya ketika menerima buku Change.
"Sebelum rasa sakitmu melebihi rasa takutmu, kau belum akan berubah."
Maka
sahabat-sahabatnya pun menjauhi demi menyakiti dirinya. Ketika itulah,
pemain band yang mempunyai suara rock dan jagoan sepakbola ini pun
pergi ke Cibadak, menempati sepetak tanah milik orangtuanya yang lama
tak diurus. Di situ ia memulai hidup baru menjadi pengepul manggis.
Waktu
ia menelepon dari lokasi persembunyiannya, saya merasa ia belum
berubah. Ia meyakinkan saya tentang hidup barunya. Kami abaikan. Sampai
suatu ketika saya ada urusan di Sukabumi dan meluangkan waktu
mengunjunginya.
Pinggang saya hampir copot rasanya. Jalan rusak
berkilo-kilo meter saya tempuh untuk menemuinya. Kemarin, tukang kebun
yang mau saya tempatkan untuk mengurus kebun manggis milik Rumah
Perubahan di sana saja terlihat ketakutan dan minta agar tak ditempatkan
di sana. Di gubuk sederhana, Jodi tinggal bersama para tukang kebun.
Di
kampung itu ia dipanggil opa, dan sejak opa ikut berbisnis manggis,
petani-petani mulai bisa membangun rumah karena ia tak memainkan harga
seperti para tengkulak.
Waktu pulang saya dioleh-olehi dua
peti manggis yang waktu saya baca di Google, ternyata disebutkan
kampung itu terkenal sebagai penghasil manggis ter-enak di seluruh
Indonesia.
Zona Belajar
Kalau manusia gigih
untuk keluar dari zona nyamannya, maka ia tidak otomatis akan sukses.
Selama 6 tahun lebih, Jodi bergelut dalam zona baru yang saya sebut
sebagai zona belajar (learning zone). Ia benar-benar jungkir balik, berkeringat, dan bersepeda motor melewati jalan-jalan berlumpur yang licin.
Di
situ ia belajar hidup efisien, berbagi perasaan dengan orang desa,
mempelajari perilaku petani dan eksportir. Dari biasa mengeluh kini
rumahnya mulai didatangi kalangan berdasi yang sebentar lagi akan
pensiun.
Mereka semua adalah rekan-rekan kerja Jodi yang
“berhasil selamat” dari krisis moneter tahun 1998, tetap hidup dalam
zona nyaman, namun kini justru merasa hidupnya penuh ancaman. Makanya
dalam tulisan yang lalu saya katakan zona nyaman itu cuma sebuah ilusi.
Ia malah justru tidak aman dan samasekali tidak nyaman. (baca: Keluar dari Zona Nyaman)
Setahun
yang lalu ia memulai usaha penggergajian kayu dengan satu mesin
menyusul banyaknya orang yang menanam sengon. Kemarin, saya lihat
mesinnya sudah empat buah, ditambah mesin-mesin canggih lainnya.
Asetnya
sudah di atas Rp 2 miliar lebih. Bulan depan ia akan mengambil alih
bangunan pabrik milik nasabah sebuah bank. Rumah Perubahan berencana
memindahkan lokasi pembuatan alat-alat permainan edukatif ke lokasi
ini. Jodi membuka lapangan kerja bagi 200an orang karyawan unskill yang masih prasejahtera.
Dengan
menjelajahi zona belajar, Jodi bukan memperdalam kompetensinya. Ia
mengeksplorasi kapabilitas baru. Apa bedanya dengan Fuji yang
mengekspansi kapabilitasnya dalam dunia digital, atau Modern Group yang
mengekspansi kapabilitasnya ke dalam dunia retail? Sementara mereka yang
tak belajar lagi, apa bedanya dengan Kodak dan Nokia?
Renungan bagi kaum muda
Dari
Jodi, kita belajar bagaimana manusia keluar dari zona nyaman. Padahal
di banyak kantor-kantor di Jakarta saya sering bertemu dengan para owner dan CEO perusahaan yang mengeluh bagaimana menangani pegawai-pegawainya yang terbelenggu dalam zona nyaman.
Tentu
bukan maksudnya agar mereka berhenti atau di pensiun-dinikan, melainkan
bagaimana agar mereka mau belajar tentang cara-cara baru dalam bekerja,
menjadi manusia yang selalu produktif, ngeh terhadap perubahan, dan tetap dinamis.
Masalahnya,
kompetisi menghadapi MEA ini semakin keras. Bukan dari
pendatang-pendatang dari negeri seberang, melainkan dari sesama
pemain-pemain lokal yang semakin kreatif.
Sejalan dengan itu tekanan pada sisi cost structure di sini makin terasa. Depresiasi rupiah, kongesti di pelabuhan, kenaikan biaya upah dan harga BBM, semuanya sungguh menekan.
Sementara
itu, melewati usia 33, semua eksekutif mulai ingin menikmati hidup
enak, mulai banyak minta cuti, dengan biaya entertainment dan asuransi
kesehatan yang makin mahal.
Menurut hemat saya, para pegawai pun
harus belajar menangani perasaan-perasaannya, juga menjadi lebih adaptif
dalam mempelajari masa depan. Kami di Rumah Perubahan sudah setahun
ini aktif diminta banyak kementrian, BUMN dan perusahaan swasta untuk
melatih para karyawan agar terlatih keluar dari zona nyaman.
Akhirnya
perlu saya sampaikan bahwa berselancar dalam Zona belajar itu
meletihkan, kadang itu memang pahit. Anda juga boleh bilang hidup dalam
kepahitan ini unethical. Boleh saja. But this your life, your family life, and remember those you love.
Kalau
kita mau hidup enak ya kita harus belajar terus, tak boleh ada
tamatnya, meski tak ada ijazahnya. Artinya, ya kerja keras, kerja lebih
gigih, lebih bertanggungjawab dan memberi lebih.
Prof. Rhenald Kasali adalah
Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria
bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki
pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK
sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah
Perubahan, yang menjadi role model dari social business di kalangan para
akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan
kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers
Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/01/13/053000926/Pengepul.Manggis.Ini.Keluar.dari.Zona.Nyaman?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
No comments:
Post a Comment