Oleh: Andrias Harefa
Pribadi yang sukses memiliki persamaan dengan orang yang sehat
secara
psikologis, tetapi apakah orang sukses itu sehat secara
psikologis, dan
orang yang secara psikologis sehat itu pasti orang sukses?
Maxwell Maltz (1899-1975) yang dikenal dengan pemaparan tentang
Psycho-Cybernetics (1960), mengemukakan tujuh ciri kepribadian
sukses yang
amat menarik untuk kita renungkan.
Ciri pertama: Sense of
direction. Orang sukses mempunyai kemampuan untuk mengarahkan dan
memimpin
dirinya sendiri. Ia tidak ditentukan oleh situasi lingkungannya.
Di antara
banyak karyawan yang suka mangkir kerja dan terlambat masuk
kantor,
karyawan berkepribadian sukses selalu rajin dan datang lebih awal.
Di
antara manusia yang suka mengeluh, ia tak mengucapkan
kalimat-kalimat
keluhan walaupun banyak hal yang bisa dikeluhkannya. Ciri pertama
ini
sangat dekat dengan apa yang disebut oleh Stephen R. Covey dengan
istilah
proaktivitas. Orang yang proaktif tidak didikte oleh suara-suara
mayoritas,
sebab mereka mendasarkan sikap dan perilaku mereka atas rasa
tanggung jawab
terhadap kehidupan pribadi mereka. Orang-orang yang suka
mengkambing-hitamkan situasi, lingkungan, dan orang lain di
sekitarnya,
jelaslah bukan tipe ini.
Ciri kedua: Understanding. Orang sukses
berkemampuan untuk memahami diri mereka, memahami orang lain, dan
memahami
pekerjaan mereka. Dan, mungkin ini jauh lebih penting, mereka mau
belajar
memahami segala sesuatu. Dalam bahasa Covey, orang-orang seperti
ini
memiliki kebiasaan “seek first to understand, then to be
understood.” Mereka tidak suka berkata: “Anda harus memahami
saya”, tidak suka menuntut orang lain menyesuaikan diri dengan
mereka, tetapi justru sebaliknya.
Ciri ketiga: Courage.
Keberanian bertindak merupakan hal yang melekat dalam diri orang
berkepribadian sukses. Apa pun risiko yang menghadang langkahnya,
takkan
membuat mereka mundur. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa
mereka
berprinsip: “Adalah lebih baik bertindak, walau kelak terbukti
tindakan itu salah daripada takut salah dan karenanya tidak pernah
melakukan sesuatu dalam hidup”. Manusia yang hanya membeo dan tak
pernah berani menyatakan pilihan sikap yang berbeda dengan orang
lain,
tidak masuk dalam kategori ini.
Ciri keempat: Charity. Sifat
kikir dan egosentris tidak membuat seseorang meraih sukses.
Kemurahan hati,
murah dalam memberikan pujian, suka menolong, bersedia membagi hak
miliknya
pada orang lain, adalah sifat-sifat yang menyertai kesuksesan
seseorang.
Ciri kelima: Esteem (self-esteem). Suka mengemis, meminta belas
kasihan dan mentalitas budak bertentangan dengan tabiat orang
sukses segala
zaman. Orang Sukses memiliki harga diri yang sehat.
Ciri keenam:
Self-Acceptance. Orang sukses menerima kelemahan mereka, sekaligus
mengetahui bahwa dalam diri mereka terdapat kekuatan yang unik dan
berbeda
dengan manusia lain. Mereka enggan menyediakan banyak waktu untuk
meratapi
kelemahan mereka, tetapi berusaha keras mengembangkan potensi
positif yang
telah dikaruniakan Sang Ilahi kepadanya.
Ciri ketujuh:
Self-Confidence. Inferiority complex alias minder dan superiority
complex
alias arogan tak melahirkan orang sukses. Kepercayaan diri ini
berkaitan
erat dengan penerimaan diri sebab percaya diri merupakan akibat
dari adanya
self-acceptance dan self-respect. Sikap minder dan arogan adalah
musuh
besar kepribadian sukses. Orang minder susah meraih keberhasilan,
sementara
yang arogan susah mempertahankannya (kisah para tiran di segala
jaman
membuktikan hal ini, bukan?).
Adalah menarik bahwa apa yang
disebut oleh Maltz sebagai ciri-ciri kepribadian sukses tersebut
memiliki
persamaan yang mendasar dengan empat ciri orang yang sehat secara
psikologis. Duane Schultz dalam bukunya Growth Psychology: Models
of
Healthy Personality mencoba menguraikan titik-titik persamaan yang
dimiliki
oleh orang-orang berkepribadian sehat—Schultz mengkaji tujuh teori
pribadi sehat berdasarkan konsep Gordon Allport, Carl Rogers,
Erich Fromm,
Abraham Maslow, Carl Jung, Viktor Frankl, dan Fritz Perls.
Pertama, orang-orang yang sehat secara psikologis mengontrol
kehidupan
mereka secara sadar. Walaupun tidak selalu secara rasional,
orang-orang
sehat mampu secara sadar mengatur tingkah laku dan bertanggung
jawab
terhadap nasib mereka sendiri. Mereka, karenanya, tidak suka
menyalahkan
lingkungan atau mengkambing-hitamkan orang lain.
Kedua,
orang-orang yang sehat secara psikologis mengetahui diri mereka
apa dan
siapa. Mereka menyadari kekuatan dan kelemahan, kebaikan dan
keburukan
mereka, dan umumnya mereka sabar dan menerima hal-hal tersebut.
Mereka
tidak berkeinginan menjadi sesuatu yang bukan mereka. Meski mereka
dapat
memainkan peran sosial untuk memenuhi tuntutan dari orang lain
atau situasi
(kecuali dalam pandangan Perls), namun mereka tidak
mengacaubalaukan peran
ini dengan diri mereka yang sebenarnya.
Ketiga, mereka bersandar
kuat pada masa kini. Meski para ahli teori itu percaya bahwa kita
tidak
kebal terhadap pengaruh masa lampau (khususnya pada masa
kanak-kanak),
namun tidak ada seorang pun mengatakan bahwa kita tetap dibentuk
oleh
pengalaman awal (sebelum usia lima tahun). Pada sisi lain mereka
memandang
masa depan sebagai sesuatu yang sangat penting, tetapi tidak
mengganti masa
kini dengan masa depan.
Dan keempat, orang yang sehat secara
psikologis tidak merindukan ketenangan dan kestabilan, tetapi
mendambakan
tantangan dan kegembiraan dalam kehidupan, tujuan dan pengalaman
baru.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah: Benarkah orang yang sukses
itu selalu sehat secara psikologis? Apakah orang yang secara
psikologis
sehat pasti orang sukses? Tulisan ini tidak bermaksud menjawab dua
pertanyaan tersebut, tetapi justru ingin mengajak Anda berpikir:
bagaimana
pendapat Anda?
*) Andrias Harefa
Author: 40 Best-selling
Books; S peaker-T rainer-C oach: 22 Years Plus
Alamat
www.andriasharefa.com – Twitter @andriasharefa
Sumber: http://www.andriasharefa.com/kepribadian-sukses/2014/09
No comments:
Post a Comment