Oleh: Andrias Harefa
DI SEKOLAH kehidupan kita sering menemukan begitu banyak
orang yang terjebak oleh trauma kegagalan di masa silam. Kegagalan
yang
pernah dialaminya dianggap sebagai sesuatu yang mutlak dan pasti
terulang,
sehingga membuat dirinya kapok untuk mencoba lagi. Bahkan bukan
cuma itu.
Perasaan “takut gagal lagi” itu kemudian secara sistematik
ditularkan kepada sejumlah orang, entah itu rekan kerja atau
bahkan
anak-anak mereka sendiri. Dan ketika rasa “takut gagal” menjadi
momok dalam sebuah lingkungan, maka sejumlah cita-cita besar kita
dapati
layu sebelum berkembang.
Ilustrasi yang menarik mengenai soal tersebut
diatas dapat dipetik dari cerita yang beredar di internet, yang
entah
darimana asal-usulnya. Berikut petikannya:
Konon, ada seorang
profesor di Amerika yang meneliti dua ekor monyet. Keduanya, sebut
saja
Ankey dan Benkey, dimasukkan ke dalam sebuah ruang kosong
bersama-sama. Di
dalam ruang terdapat sebuah tiang yang di atasnya terdapat
sejumlah pisang
yang sudah matang.
Setelah cukup menyamankan diri dengan
lingkungan dalam ruang tersebut, Ankey dan Benkey kemudian mulai
mencoba
memanjat tiang untuk mendapatkan pisang yang menggiurkan itu.
Mula-mula
Ankey yang naik. Ketika berada di tengah, sang profesor
menyemprotkan air
ke arahnya, sehingga Ankey terpeleset dan jatuh. Penasaran, Ankey
mencoba
lagi, disemprot lagi, dan jatuh lagi. Begitu berulang kali, sampai
Ankey
menjadi kapok. Lalu Benkey mencoba. Ia mengalami hal yang sama
berulang
kali dan akhirnya ikut kapok.
Tak lama berselang, dimasukkanlah
monyet ketiga, sebut saja Cenkey. Sang profesor sudah menetapkan
untuk
tidak lagi menyemprotkan air jika ada monyet yang memanjat tiang.
Siapa pun
yang memanjat pasti akan mendapatkan pisang yang ada. Anehnya,
begitu
Cenkey mulai menyentuh tiang untuk memanjat, ia langsung ditarik
oleh Ankey
dan Benkey. Mereka agaknya berusaha mencegah agar Cenkey tidak
mengalami
nasib serupa dengan mereka. Karena terus menerus dicegah oleh
Ankey dan
Benkey, maka akhirnya Cenkey terpengaruh dan tak lagi berusaha
memanjat.
Selanjutnya, sang profesor mengeluarkan Ankey dan Benkey, dan
memasukkan dua monyet baru Denkey dan Enkey. Seperti mudah
ditebak, Denkey
dan Enkey mencoba memanjat tiang untuk mendapatkan pisang. Namun
Cenkey
berusaha mati-matian untuk mencegah dan menahan dua kawannya itu.
Ia
seperti berusaha memberitahu kalau “ada sesuatu” dengan tiang
dan pisang tersebut yang membahayakan siapa saja yang memanjat.
Usaha Cenkey berhasil mempengaruhi Denkey, tetapi Enkey agaknya
punya
pendiriannya sendiri. Enkey akhirnya memanjat dan menikmati pisang
yang
diperolehnya karena memang sang profesor tidak menyemprotkan air
lagi.
Sang profesor dalam kisah di atas boleh ditafsirkan
“mewakili” Tuhan, yang memudahkan seseorang dalam hal tertentu
[memberi berkah] dan menyulitkan orang yang sama dalam hal yang
lain
[mengijinkan musibah]. Ia memainkan peran sebagai “faktor x”
yang tak bisa direncanakan dan tak bisa diduga perilakunya.
Sementara
pisang merupakan wujud dari sasaran-sasaran atau cita-cita yang
ingin
dicapai oleh orang-orang tertentu, entah itu kekayaan, jabatan
kekuasaan,
kesehatan, keturunan, kecantikan, usia lanjut, atau apapun yang
mungkin
diinginkan manusia.
Ankey dan Benkey mewakili sosok orang
kebanyakan. Awalnya mereka memiliki sejumlah cita-cita besar.
Namun setelah
beberapa kali gagal memperjuangkan cita-citanya, mereka akhirnya
memutuskan
untuk menyerah pada keadaan [nasib?]. Mereka menjadi trauma.
Mereka takut
gagal lagi. Dan pengalaman gagal kemudian menjadi semacam mantra
yang siap
ditularkan kepada siapa saja yang bersinggungan dengan mereka.
Cenkey, monyet ketiga, mewakili sosok orang-orang yang mudah
percaya pada
mitos-mitos negatif para pendahulunya. Jika mereka menginginkan
sesuatu,
mereka akan sangat bergantung pada pandangan lingkungan
sekitarnya. Ketika
lingkungan tak mendukung, kurang memberikan informasi yang
dibutuhkan, atau
bahkan mencoba menghambat langkah maju, maka mereka akan menyerah
pada
tuntutan lingkungan yang lebih tahu dan lebih “berpengalaman”.
Atas nama tradisi, bakat, keturunan, dan nasib, kelompok manusia
jenis
Cenkey tidak perlu sampai mengalami sendiri proses kegagalan yang
dramatis.
Mereka mudah diyakinkan bahwa mereka tak berbakat dan pasti gagal,
bahkan
sebelum mencoba melakukan sesuatu sama sekali.
Denkey memiliki
karakteristik yang tak banyak berbeda dengan Cenkey. Tetapi Enkey
mewakili
jenis manusia yang lain. Jenis manusia yang tak mudah dipengaruhi
dan ingin
memperjuangkan cita-citanya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak
percaya pada
faktor nasib, keturunan, atau bahkan bakat. Baginya, semua yang
dicita-citakan harus diusahakan. Kalau perlu berbeda pandangan
dengan orang
lain, tak jadi soal. Kalau orang lain pernah gagal, tak berarti ia
juga
pasti gagal. Kalau orang lain menganggapnya tak bisa, itu bukan
berarti ia
otomatis menjadi tak bisa. Yang penting segala sesuatu harus
dicoba. Dan
sesuatu yang dianggap penting harus diperjuangkan sampai dapat,
apapun
hambatannya.
Kita juga dapat mengatakan bahwa Ankey dan Benkey
adalah jenis orang yang terpenjara oleh masa lalu. Mereka bahkan
memandang
masa depan melalui masa lalu. “Jika kemarin aku gagal, maka besok
pun
aku pasti gagal,” demikian pola pikir mereka. Bahkan lebih parah
lagi, entah secara sadar ataupun tidak, mereka menganggap, “Jika
tahun lalu aku gagal, maka kalau si Cenkey mencoba besok, ia juga
pasti
gagal. Aku harus mencegahnya agar ia tidak gagal seperti diriku”.
Dengan demikian, bagi Ankey dan Benkey, mencegah orang dari usaha
mereka
untuk meraih cita-cita besar adalah sesuatu yang “baik” dan
“mulia”. Ankey dan Benkey akan mencoba mengajarkan orang-orang
di lingkungan terdekatnya untuk “realistis” dalam menginginkan
sesuatu. Mereka pandai dalam memberikan argumentasi tentang
mengapa suatu
hal itu menjadi “tidak mungkin”. Namun, mereka tidak pandai
dalam soal menjelaskan bagaimana mengubah sesuatu yang “tidak
mungkin” menjadi “mungkin”. Dengan lain perkataan,
orang-orang tipe Ankey dan Benkey mudah menyebarkan virus
pesimisme. Mereka
adalah kaum pesimis berdasarkan pengalaman.
Cenkey dan Denkey
bahkan lebih parah lagi. Mereka cenderung memilih tindakan yang
“paling aman” setelah mempertimbangkan semua kritik dan saran
yang disampaikan orang lain [lingkungan]. Mereka tidak memiliki
cita-cita
yang diinginkan dengan sungguh-sungguh, tetapi sekadar mengikuti
kemana
suara mayoritas membawa mereka. Mereka memiliki rasa minder
potensial yang
mudah berkembang ketika disiram oleh nasihat orang-orang
“berpengalaman” model Ankey dan Benkey. Pola pikirnya kurang
lebih, “Kalau orang seperti dia saja tidak bisa, apalagi aku”.
Singkatnya, inilah model orang pesimis berdasarkan pelajaran dan
pelatihan
dari orang lain [bukan pengalaman langsung].
Enkey mewakili
keberanian, kegigihan, sikap optimis dan pantang menyerah. Inilah
jenis
manusia yang mempelopori perubahan, melakukan terobosan,
menghadirkan
berbagai inovasi, dan membuat dunia nampak warna-warni dan penuh
dinamika.
Kita bisa juga memaknai kisah para monyet itu secara
lain. Ankey dan Benkey mewakili sisi tertentu dalam diri kita yang
mudah
menyerah. Sisi itu sering berpesan “Kemarin kamu sudah gagal, buat
apa mencoba lagi. Nanti gagal lagi”. Cenkey dan Denkey mewakili
sisi
lain yang terpengaruh oleh pengalaman gagal dalam bidang tertentu.
Sisi ini
sering berpesan, “Kalau si Centil saja nggak tertarik sama kamu,
apalagi dalam si Tamara” atau “Kalau bergaul saja kamu sudah,
bagaimana bisa berbisnis”. Sementara Enkey mewakili sisi paling
optimis dalam diri kita, yang berpesan “Selalu ada cara bagi yang
gigih berusaha” atau “Sesuatu yang sulit itu tidak berarti
mustahil”.
Nah, ketiga sisi tersebut bertarung tiap hari
dalam diri kita, dalam sistem berpikir kita, dan hanya salah satu
sisi yang
“menang” pada suatu saat. Sisi yang paling sering kita
menangkan—artinya ini soal pilihan, bukan soal nasib—itulah
yang kemudian membentuk kebiasaan kita, apakah kita cenderung
menjadi
pesimis atau menjadi optimis dalam meraih cita-cita hidup di masa
depan.
Jadi, ketika ada orang yang mengatakan bahwa kita tidak mungkin
mencapai apa yang kita cita-citakan, jangan percaya. Sebab mereka
mungkin
adalah kaum pesimis berdasarkan pengalaman [Ankey-Benkey], atau
pesimis
karena dilatih [Cenkey-Denkey], sementara kita adalah kelompok
optimis
[Enkey]. Kejar terus cita-cita, jangan pernah menyerah.
Salam
Proaktif!
Andrias Harefa
No comments:
Post a Comment